Krisis Global (by: Taswin, MM - PT Cheetam Garam Indonesia)

Krisis Global: Bencana Tsunami Financial, Dari Washington ke New York Menuju Cilegon
Taswin A. Mas'ud, MM - Acc & Adm Manager PT Cheetam Garam


Kalau kita kilas balik beberapa tahun lalu saat terjadi bencana tsunami di Aceh, sungguh suatu pemandangan yang sangat mengerikan. Gelombang setinggi 30 meter telah memporak-porandakan wilayah dengan meninggalkan bekas yang tak terkirakan sebelumnya. Tak jauh berbeda dengan krisis global, laksana tsunami keuangan yang bagaikan air bah bergerak dari AS menuju ke seluruh dunia. Bedanya tsunami di Aceh bersifat kasat mata, sedangkan tsunami keuangan ini tidak kasat mata, tapi akibatnya dirasakan jauh lebih dahsyat oleh seluruh penduduk dunia.Krisis global sudah berjalan sekitar setahun dan pengaruhnya sudah kita rasakan. Mulai pengurangan jam produksi, pemutusan kerja bahkan tak jarang perusahaan yang terpaksa ditutup. Krisis ini laksana tsunami yang gelombangnya menggulung semua daerah yang dilaluinya. Dunia yang tanpa batas, membuat pengaruh tsunami yang satu ini menyerang ke semua negara tanpa kecuali. Bahkan kalau pada tulisan sebelumnya penulis menyatakan General Motor umurnya tinggal menghitung hari, maka pada saat tulisan ini dibuat, General Motor, produsen mobil terbesar yang sudah berusia ratusan tahun, benar-benar pailit dan diambil alih oleh pemerintah Amerika.Ditengah ganasnya bencana tsunami financial yang telah merontokkan seluruh negara besar, justru keberadaan Indonesia sebagai negara yang memiliki volume ekspornya relative kecil, malah menjadi tanggul penyelamat bagi perekonomian dalam negeri. Tak terbayangkan negara kecil seperti Singapura yang memiliki volume perdagangan dunia yang sangat besar, tentunya sangat terpengaruh dengan kondisi ini karena kegiatan transaksi ekspor dan impor menurun drastis ketitik nadir.

Kisah Pertemuan Sang Presiden, cikal bakal krisis global?

Alkisah pada musim panas yang cerah di bulan Juni 2002, Presiden George W. Bush, sang Presiden Amerika Serikat saat itu, berkunjung ke pemukiman kumuh di Atlanta Selatan untuk bertemu Franklin Raines,CEO dari Fannie Mae dan Leland Brendsel, CEO dari Freddie Mac (sebuah institusi keuangan yang dibentuk pemerintah untuk membeli KPR di Amerika). Dalam pertemuan tersebut Sang Presiden mengutarakan niatnya untuk menolong 5,5 juta keluarga miskin di sana agar sudah memiliki rumah sebelum beliau lengser. Suatu niatan yang sangat mulia sebenarnya. Sang Presiden tidak memberikan arahan apapun soal caranya. Tapi sang CEO sangat paham betul apa yang diinginkan Sang Presiden.Restu sang Presiden diterjemahkan dengan gelontoran ratusan miliar dolar membeli kredit mortage. Sayangnya setahun sejak pertemuan tersebut, terjadi skandal keuangan di Fannie Mae dan Freddie Mac dengan menyembunyikan keuntungan dari pembukuan perusahaan yang menciutkan keuntungan pemegang saham, dan sang CEO pun dicopot dari jabatannya. Akibatnya tak terelakkan lagi, sub prime mortage yang dibiayai oleh Lembaga tersebut mengalami kemacetan. Efek domino dari kemacetan tersebut segera merambat ke berbagai Lembaga Keuangan dan melewati lintas negara. Terjadilah kepanikan yang ikut memperparah keadaan pasar ekonomi. Puncaknya pada bulan Oktober 2008, pasar bursa di seluruh dunia anjlok ke titik terdalam sejak tahun 1930. Itulah harga yang harus ditanggung oleh perkenomian Amerika akibat penyaluran kredit rumah kepada orang yang secara ekonomis tidak layak menerima kredit. Tapi dengan membabi buta, semua bank dan lembaga keuangan menyerbu pasar ini dengan memberikan kemudahan yang luar biasa dan melupakan potensi gagal bayar. Bahkan setelah pasar ini jenuh sekalipun, kemudian muncul ide melakukan refinancing mortage dengan menghitung ulang kredit yang sudah diberikan. Ujungnya dapat ditebak, ketika suku bunga naik dan orang-orang tidak mampu membayar, maka asetpun disita oleh bank. Begitu banyaknya jumlah rumah yang disita oleh bank. Sampai tahun 2007, 90% rumah sitaan tidak laku dijual. Jadilah wilayah-wilayah yang kosong tak berpenghuni. Rumah-rumah hancur, gentingnya bocor, mulai ditumbuhi tanaman liar, dsb. Banyak orang yang tertekan hidupnya karena mulai kehilangan tetangga dan kehidupan sosial diwilayahnya. Kemanakah mereka pergi?Rasanya sulit dipercaya bila di negara adidaya seperti Amerika terdapat koloni tunawisma yang membentuk kota tenda. Ya..benar mereka tinggal di tenda, memasak dengan kayu bakar dan membakar api unggun untuk menghangatkan badan dimalam hari. Tidak ada kompor gas atau penghangat ruangan. Anak-anak mulai kusut dan berdebu. Sulit dibayangkan hal tersebut terjadi hanya 40 km dari kota segemerlap seperti Los Angeles.

Alan Greenspan dan Keruntuhan Ideologi Kapitalis

Siapakah Alan Greenspan? Dia adalah Gubernur Bank Sentral Amerika, The Fed. Dialah penjaga ekonomi liberal sejati di era Presiden Bush. Semasa beliau menjabat, banyak masalah peraturan pasar keuangan dunia lahir dari tangannya. Bahkan transaksi keuangan derivatif yang ikut memporakporandakan ekonomi global mengalami masa puncaknya.Sesungguhnya krisis global ini tidak terjadi serta merta. Semua mengalami proses. Pada tahun 2002, tiga orang ekonom AS yakni Robert Ekelund, Mark Thronton dan Robert Kuttner sudah memperingatkan pemerintah dengan mengkritisi kebijakan ekonomi terutama transaksi derivative yang semakin tak terkendali. Namun dijawab oleh Alan Greenspan, Gubernur The Fed, Bank Sentral Amerika, dengan mengatakan bahwa pada akhirnya pasar dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Bahkan tahun berikutnya ketika kecemasan itu kembali didengungkan, Alan Greenspan menjawab dengan penolakan yang sama. Bahkan Gubernur the Fed in memuja transaksi derivative tersebut merupakan bagian paling penting bagi ekonomi.Sampai ketika pada akhirnya semua sudah tak terkendali, pada tahun 2008 Alan Greenspan merevisi pemikirannya mengenai konstruksi ekonomi pasar bebas. Ia mengakui salah mempercayai transaksi derivative tidak memerlukan aturan sehingga dijadikan alat spekulasi untuk mencari keuntungan. Bahkan Warren Buffet (orang terkaya dunia) menjuluki CDS, salah satu produk derivative sebagai senjata pemusnah massal sektor financial.Andai saja Alan Greenspan tahu hadis Nabi setelah pulang dari perang badar, suatu perang yang sangat besar, sangat dahsyat (untuk ukuran saat itu). Beliau menyampaikan kepada umatnya agar tidak sombong karena telah menang dalam peperangan besar karena akan ada perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu. Itulah kelemahan pasar bebas, membiarkan pasar berada di tangan para spekulan yang memiliki nafsu serakah dalam mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan akibatnya.

Dari Washington ke New York menuju Cilegon

Kalau dalam lagu kita kenal Antara Anyer dan Jakarta, yang menunjukkan keterkaitan hubungan asal muasal suatu objek, maka dalam krisis global ini penulis menghubungkan Washington, New York (USA) berlabuh Cilegon (Indonesia). Kenapa Washington? Sebagai pusat pemerintahan AS, disanalah kebijakan-kebijakan pemerintahan AS diambil. Kenapa New York? Disanalah indikator ekonomi dunia terekam melalui perdagangan saham di Bursa Efek New York atau New York Stock Exchange. Puncak krisis global yang ditandai oleh jatuhnya indeks saham di New York, menjalar ke seluruh bursa saham dunia seperti Hanseng, Tokyo, Kospi, Nasdaq, BEI, dsb. Kenapa Cilegon? Disinilah kita berada di Kawasan KIEC yang notabene adalah representasi dari banyak perusahaan asing dari berbagai Negara, yang terkena dampak dari krisis global tersebut.Sayang sekali penulis belum memiliki data statistik akibat pengaruh krisis global tersebut terhadap perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar Cilegon. Namun demikian, secara kasat mata kita sudah melihat banyak perusahaan yang telah mengurangi jam kerja produksi karena sepinya order. Tidak hanya itu, bahkan Pemutusan Hubungan Kerja di beberapa perusahaan tampaknya tidak bisa dielakkan.Untungnya, inilah hebatnya orang Indonesia yang selalu merasa beruntung, walaupun krisis ini telah memporak porandakan ekonomi dunia, Indonesia boleh sedikit berbangga karena agak resistant dibandingkan negara tetangga kita seperti Singapore, sehingga tidak terjadi gejolak seperti krisis ekonomi tahun 1997. Atau mungkin kita sudah terbiasa menghadapi krisis sehingga terjadinya krisis ekonomi seperti ini bukanlah suatu hal yang luar biasa lagi alias hanya riak-riak kecil atau angin sepoi-sepoi saja. Beda dengan negara maju yang memang mengalami kehancuran ekonomi yang luar biasa dalam, sehingga perlu bertahun-tahun untuk memulihkannya. Bahkan kalau kita lihat di Kawasan KIEC sendiri, justru pada masa krisis ini ada beberapa investor yang melakukan pembangunan pabrik baru. Ternyata dibalik ancaman krisis global, mengandung juga suatu kesempatan untuk berinvestasi.Kedepan, semoga dengan semangat kebersamaan dan usaha kerja keras seluruh warga Cilegon dan sekitarnya, perusahaan akan segera kembali bangkit untuk meraih kembali pangsa pasarnya. Dengan demikian kegiatan produksi akan kembali normal dan kegiatan ekonomi akan kembali seperti semula. Semoga !!!