Ada peristiwa menarik tentang Umar bin Abdul Aziz. Tak lama setelah dikukuhkan sebagai khalifah. Umar bin Abdul Aziz didapati Fatimah, istrinya, tengah bersimpuh di mushallah rumahnya. Kedua telapak tangannya menelungkup pipinya. Sementara, simbahan air mata di wajahnya tak lagi dapat disembunyikan.
“Apa gerangan yang terjadi, wahai Amirul Mukminin? Adakah sesuatu telah menimpamu hingga hati kakanda begitu sedih?” Sapa Fatimah lembut.
“Wahai istriku, aku kini menanggung urusan ummat Muhammad SAW.” Jawab sang khalifah. “Karenanya terbayanglah dalam benakku orang papa nan lapar, orang sakit nan telantar, orang tuna busana, orang tertindas tak berpembela, orang terasing dan terpenjara, orang jompo, serta orang yang banyak tanggungan, diseluruh pelosok negeri. Dan aku tahu, Tuhanku akan meminta pertanggungjawabanku tentang nasib mereka. Sedangkan pembela mereka adalah Nabi Muhammad SAW. Aku takut kalau aku tidak dapat mengemukakan alasan yang kuat di hadapan beliau. Lalu, aku merasa kasihan terhadap diriku sendiri. Itulah sebabnya tangisku tak tertahankan lagi.
Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak. Begitulah tesis yang sering dikemukakan tentang kekuasaan, dalam ungkapan diatas, adalah sesuatu yang mankutkan dan mengerikan. Bagi banyak penguasa, sejarah telah memberikan pembenaran. Dan apa yang terjadi di negeri tercinta ini, sepanjang 32 tahun Orba hanyalah menambah daftar contoh hal itu.
Bagi Umar bin Abdul Aziz dan para pemimpin lainnya yang berintegritas iman sinyalemen itu tidak berlaku. Sejarah kepemimpinannya telah menjadi mentari keadilan. Tak habis-habisnya pembicaraan generasi tentang langkah-langkah kepemimpinannya. Dan kini tak seorangpun mampu menghapus lembaran-lembaran kegemilangan yang ia tulis dengan tinta emas keadilannya. Pekerti kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz ini berangkat dari cara pandangnya tentang kekuasaan. Dan bagaimana ia melihat kekuasaan itu tergambar jelas dalam, antara lain ungkapannya kepada istrinya, seperti dikutip di atas. Pokok-pokok pandangannya tentang kekuasaan bisa digambarkan sebagai berikut:
Pertama, seperti halnya para khulafaur-rasyidin, Umar bin Abdul Aziz sama sekali tidak mempunyai ambisi menjadi penguasa. Bahkan, ketika pemilihan khalifah berlangsung yang menunjuk dirinya untuk jabatan itu, ia berusaha menghindar. Apa boleh buat, kesepakatan tokok Islam saat itu tak dapat ditolaknya.
Jabatan kepada orang yang memintanya. Tentu, ada makna penting dalam pelarangan itu. Sedikitnya, ada dua kemungkinan pada orang yang meminta (meminta-minta) jabatan, terutama jabatan sentral seperti Kepala Negara. Kemungkinan pertama, ia tidak (belum) memahami beban berat yang harus dipikul sebagai pejabat. Kedua, ia sudah tau beban berat yang akan dipikulnya. Namun, hal itu tidak menjadi masalah bagi dirinya. Karena, ia tidak punya rencana atau keinginan untuk menunaikan tanggung jawab itu.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz memandang jabatan sebagai beban tanggung jawab (taklif) dan bukan kehormatan (tasyrif). Kesadaran inilah yang menuntun benaknya pada bayangan tentang rakyat jelata dengan segala permasalahannya. Ia sama sekali tidak membayangkan berbagai fasilitas yang mungkin akan ia dan keluarganya peroleh. Tidak pula terdetik dibenaknya, kelak orang akan membungkuk-bungkuk dan mempersembahkan segala penghormatan kepadanya. Lalu, mengagungkan dirinya dengan mengatakan “Berdasarkan petunjuk Bapak Presiden….”.
Ketiga, pimpinan adalah pelayan rakyat. Sebab, kekuasaan pada hakikatnya milik Allah. Dan salah satu peran kepemimpinan dalam Islam adalah agar kekayaan Negara tidak berputar pada segelintir orang. Yang tidak mampu melaksanakan tugas itu, tidak layak memegang tampuk kekuasaan.
Yang terjadi dalam kepemimpinan diktator adalah rakyat wajib melayani sang penguasa, keluarga, dan kroninya. Maka untuk tujuan itu dibuatlah selogan atau jargon. Misalnya, selogan pembangunan. Tidak sedikit kepentingan penguasa dikemas sebagai kepentingan pembangunan bangsa. Lalu, orang yang karena ingin mempertahankan haknya tidak rela mengikuti nafsu si penguasa akan dicap sebagai tidak mendukung pembangunan. Bahkan, dijuluki subversive.
Keempat, diatas itu semua, landasan paling penting kepemimpinan adalah rasa tanggung jawab kepada Allah. Banyaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme karena yang ditumbuh kembangkan adalah rasa tanggung jawab kepada sesame manusia dan bukan kepada Allah SWT. Padahal manusia sangat mungkin diajak kolusi.
Rasa tanggung jawab kepada Allah itu tidak bisa tumbuh sesaat setelah seseorang dinobatkan sebagai pemimpin. Kesadaran itu akan muncul dengan didikan dan bukan dadakan. Orang yang dengan mudah melakukan tindakan-tindakan anarkis dan teror dalam keadaan lemah dan tertindas, mustahil dapat mengayomi masyarakat dan menegakkan keadilan dikala ia kuat dan berkuasa.
Sukses Umar bin Abdul Aziz menegakkan keadilan, bukan semata-mata karena ia dipersiapkan dengan gemblengan politik. Tidak pula karena nenek moyangnya adalah penguasa. Sukses itu terjadi, justru karena ia digembleng di sekolah sepanjang hayat melalui madrasah iman. Dengan iman ia menggunakan pandangan matahari dalam segala hal. Termasuk dalam memandang kekuasaan.
Memang benar, kepiawaan manajerial, kelihaian berpolitik, dan potensi-potensi kepemimpinan lainnya mutlak perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Tapi, apakah arti semua itu, jika ia memiliki pandangan yang salah tentang kekuasaan. Salah-salah ia justru akan memanfaatkan segala kepiawaian itu untuk membodohi rakyat dalam rangka “Pembangunan” kemutlakan kekuasaannya.
Sementara Umar bin Abdul Aziz menangis karena terpilihnya menjadi penguasa. Justru, banyak penguasa yang bersikeras mempertahankan kekuasaan.