Sebuah refleksi peringatan Hari Kartini
Waktu telah membuatmu tumbuh, wahai jantung kebahagianku...! Merajut hari-hari, meninggalkan masa kecilmu, memasuki masa remajamu. Kini dalam dunia lahir, engkau bak mawar pemilik sisi manis yang memikat dari susunan kelopak dan warna yang terpadukan. Namun aku selalu ingatkan, adalah susunan itu menjadi lebih manis dan selalu manis kala bulir-bulir kalam keagungan dan untaian zikir kesucian mengalir bening di sana mengirimkan nur kedamaian, membersitkan aura kesejatian.
Maka untukmu aku bekalkan kalam perumpamaan; sebagai pijakan untuk menelusuri jalan tujuan; pembeda tipuan halus yang melenakan; penyadar dari kebanggaan semu yang memabukkan.
Duhai penggembira hatiku...! Kecantikan wajah dan kebaikan tubuhmu adalah anugerah Tuhan, amanah keindahan-Nya yang Ia percayakan padamu, bukti kesempurnaan ciptaan-Nya yang tergambar lewatmu. Itu bersifat sementara, fana dan akan berakhir dengan bergeraknya matahari yang membentuk hari, bulan dan tahun. Kau boleh taburi wajahmu dengan aneka bubuk keayuan tapi jangan lupa, kau harus selalu baluri ia dengan air kesucian. Kau boleh hiasi tubuhmu dengan aneka sandang keindahan. Tapi jangan kau balut tubuhmu dengan yang kau kenakan namun lindungilah ia dengannya. Karena membalut adalah menutup untuk menonjolkan sedang melindungi adalah menutup untuk memuliakan. Karena tubuhmu bukanlah nasi ketan yang dibungkus transparan tapi ia adalah ciptaan yang penuh kemuliaan.
Wahai belahan jiwaku...! Jangan kau jadikan ia sebagai kebanggaan akhirmu. Karena bila kau lakukan itu, kau laksana bunga yang bangga hanya karena keindahan warna dan susunan kelopaknya di saat mekar.
Lihatlah bunga yang mekar itu...! Begitu banyak kumbang-kumbang yang mencoba mendekati dan menyentuhnya; Begitu banyak mata yang terbelalak kagum karena keindahannya; Begitu banyak tangan yang ingin memetiknya.
Tapi lihat lagi setelah waktu berlalu...! Ketika warnanya mulai memudar, kelopaknya mulai layu lalu berguguran. Masihkah kumbang-kumbang itu terbang mengelilinginya? Adakah mata yang melirik kembali walau seseaat? Mungkinkah tangan menjulur jari-jemarinya lagi untuk merengkuhnya?
Untaian makna dalam kata-katamu, dan kesempurnaan tindakan pada karsamu.
Kau tak perlu jawab itu semua dengan lisanmu. Tapi endapkan ia dalam jiwa dan nuranimu, kemudian munculkan ia dalam sebuah kesadaran baru bahwa kejumawaan hakikimu, keagungan nyatamu dan kemaujudan sejatimu bukan pada tampak luarmu.
Kau adalah apa yang ada dalam jiwamu. Eksistensimu adalah tampak dalammu. Bila kau sadari itu, kau laksana bunga pada pohon buah. Kemunculanmu adalah keniscayaan yang selalu dinantikan. Kehadiranmu adalah harapan untuk sekelilingmu. Kala mekar, semua mata memandang dengan kasih. Dan tangan-tangan itu bertaut erat membentuk perlindungan untukmu. Gugurnya kelopakmu bukanlah akhir perjalananmu, tapi upaya untuk menjadi yang lebih, menjadi buah kesejatian.
Kala uara batin dan pikiran jernihmu menawan, itulah buah hakekat dirimu yang selalu menjadi telaga. Telaga yang tak pernah kering, walau panas matahari memutar zaman. Karena kau mengairi dirimu sendiri dari mata air jernih yang mengalir dari kesucian sisi jiwa dan hatimu. Tidak hanya itu, kaupun menghapus dahaga para musafir pencari hakekat dan mengalirkannya pada jiwa-jiwa tandus dan gersang yang gelisah mengerang mencari kesegaran. Kau mengalir, kau hidup bukan hanya karena gerak jasadmu yang mempesona, tapi kau hidup karena goresan pelajaran pada mata pikirmu, untaian makna dalam kata-katamu, dan kesempurnaan tindakan pada karsamu, yang semuanya memberi arti hidup pada jiwa-jiwa itu.
Kau bisa lihat amtsal telaga itu wahai rembulan kalbuku...! Pada diri Khadijah, pada keluasan fikiran ‘Aisyah, pada kesucian pribadi Rabi’ah, pada keberanian hati Cut Nyak Dhien dan pada tekad mandiri Kartini.