K.H. Ahmad Rifa’i Arief, adalah seorang kiai perintis dan pendiri Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Pondok Pesantren La Tansa, Pondok Pesantren Sakinah La Lahwa, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro. Beliau dilahirkan pada tanggal 30 Desember 1942, dan wafat pada tanggal 16 Juni 1997, pada usia yang belum terlampau tua, 55 tahun akibat serangan jantung.
Masa kecil
Ahmad Rifai Arief adalah putra sulung dari H. Qasad Mansyur bin Markai Mansyur dan Hj. Hindun Masthufah binti Rubama. Ayahnya merupakan seorang guru agama pada “Madrasah Ibtidaiyah Masyariqul Anwar“, yang terletak di kampung Pasir Gintung, Balaraja (sekarang Jayanti), Tangerang. Oleh sebab itulah Rifa’i dibesarkan dalam lingkungan yang taat dan sarat dengan nilai-nilai agama.
Sejak kecil, kedua orangtuanya memanggil Rifa’i dengan panggilan kesayangan yaitu “Lilip“. Kelak sampai beliau dewasa, orang-orang di kampungnya lebih mengenal dan memanggilnya demikian. Beliau memiliki 3 orang adik laki-laki serta 4 orang adik perempuan. Urutan tujuh adik-adiknya adalah Umrah, Dhofiah, Farihah, Huwaenah, Ahmad Syahiduddin, Nahrul Ilmi Arief dan Odhi Rosikhuddin. Di mata adik-adiknya, Rifa’i menjadi teladan, karenanya beliau sangat disayangi dan dihormati oleh mereka.
Perjalanan pendidikan
Perjalanan pendidikan Rifa’i dimulai dengan pendidikan peringkat dasar yang disebut “Sekolah Rakyat (SR)” di kampung Sumur Bandung, Balaraja (sekarang Jayanti), Tangerang. Di sekolah tersebut Rifa’i hanya belajar 3 tahun saja, sebab ayahnya memindahkan pendidikannya ke “Madrasah Masyariqul Anwar” di Caringin, yang juga merupakan tempat ayahnya belajar. Alasan ayahnya agar Rifa’i lebih banyak memperoleh pengetahuan agama, selain itu juga agar anaknya dapat belajar mengaji al-Quran kepada K.H. Syihabudin Makmun yang masih saudara ayahnya.
Setelah tamat pada Madrasah Masyariqul Anwar pada tahun 1958, menurut K.H. Ahmad Syahiduddin, adik kandung Rifa’i, ayahnya menghendaki Rifa’i belajar pada institusi pendidikan Islam yang bercorak modern. Di Banten, sebenarnya banyak berdiri pondok-pondok pesantren, tetapi pondok-pondok tersebut menganut sistem pondok pesantren tradisional. Oleh sebab itu Qasad Mansyur memilih “Pondok Modern Darussalam Gontor“, Ponorogo, Jawa Timur, salah satu pondok modern yang terkenal. Pondok ini mempunyai sistem klasikal, disamping mempelajari ilmu-ilmu agama juga mengajarkan pengetahuan umum dan bahasa asing seperti Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Lebih daripada itu Pondok Gontor juga mengajarkan disiplin hidup kepada santri-santrinya. Pengetahuan tentang Gontor diperoleh Qasad Mansyur dari saudaranya, Ja’far Hadi. Awalnya, keinginan Qasad Mansyur untuk membawa Rifa’i ke Gontor tidak disetujui oleh keluarganya yang lain, dengan alasan terlalu jauh (jarak antara kampung Pasir Gintung dan Ponorogo lebih kurang 500 Km.) Namun dengan keinginan yang kuat, beliau tetap konsisten dengan niatnya, maka pada tahun 1958 beliau bersama Rifa’i berangkat menuju Pondok Darussalam Gontor.
Di Gontor, Rifa’i diterima di kelas 1 dari 6 kelas yang wajib dilaluinya. Beliau duduk di kelas 1 B. Dalam pandangan guru-guru dan rekan-rekannya, Rifa’i dikenal santri yang rajin dan pandai berpidato. Tulisannya bagus, baik tulisan dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab. Sejak sekolah, sudah terlihat jiwa kepimpinannya meskipun beliau sering mengalami sakit. Gangguan kesehatannya itu yang menyebabkan beliau terpaksa tidak naik ke kelas 5, karena tidak mengikuti ujian akhir.
Di Gontor Rifa’i dipandang sebagai murid yang pandai dan cerdas. Sifat-sifatnya itulah yang mengantarkannya menjadi ketua organisasi pelajar pondok Gontor yang saat itu masih bernama PII (Pelajar Islam Indonesia) cabang Gontor pada tahun 1965-1966. PII adalah salah satu organisasi pelajar Islam yang berpengaruh yang ada diseluruh institusi pendidikan Islam di Indonesia. Setelah tahun 1966, Pondok Gontor tidak bergabung dengan PII karena organisasi itu pada muktamar yang diselenggarakan pada tahun 1966 di Malang terpecah menjadi dua, yakni PII Menteng Raya dan PII Jalan Bunga. Bagi Gontor, sikap PII pusat itu berlawanan dengan prinsip independesi Pondok Gontor yang ditubuhkan untuk semua golongan dan di atas semua golongan. Setelah itu, pertubuhan pelajar Gontor diubah menjadi OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern). Dengan demikian masa kepengurusan Rifa’i merupakan PII cabang Gontor yang terakhir.
Ketika Rifa’i menjadi ketua PII, Pondok Gontor tengah menyiapkan rancangan pewakafan pondok. Selain itu pula, pada tahun 1963 Gontor sedang membuat piagam berdirinya pendidikan tinggi Islam Darussalam Gontor, sebuah perguruan tinggi pesantren yang pertama di Indonesia. Setelah rancangan itu semua selesai diadakan majlis peresmian yang menjemput para duta besar negara-negara sahabat, beberapa menteri Republik Indonesia, gubernur Jawa Timur dan tokoh-tokoh lainnya. Sebagai ketua pertubuhan pelajar, Rifa’i bertindak sebagai ketua panitia acara tersebut. Dalam pelaksanaanya panitia merancang penandatanganan piagam pengajian tinggi tersebut oleh para perwakilan dari para tamu. Seperti perwakilan kedutaan Arab Saudi, Menteri Agama Republik Indonesia, Gubernur Jawa Timur, tokoh masyarakat serta perwakilan pelajar yang diwakili oleh Rifa’i sebagai ketua PII saat itu.
Selama tujuh tahun menjadi santri Gontor (yakni dari tahun 1958 hingga 1965), Rifa’i dilantik oleh kiainya sebagai seorang guru (atau ustadz). Selain mengajar para santri, Rifa’i juga dilantik menjadi sekretaris kiainya, K.H. Imam Zarkasyi. Tugas yang dipikulnya cukup berat seperti menjadwalkan kegiatan pimpinan, membuat konsep-konsep kebijakan pondok, menyunting bahan-bahan ceramah pimpinan, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan itulah yang justru menambah wawasan dan pengalaman Rifa’i dan karenanya ia semakin mendapat kepercayaan dari kiainya.
Setelah lebih kurang 2 tahun mengabdi di almamaternya. Rifa’i melanjutkan pengajiannya di pondok-pondok tradisional di Jawa Timur. Namun tidak ada sumber yang pasti tentang di pondok mana dan berapa lama ia tinggal di sana. Keputusannya untuk keluar dari Gontor dan menyambung pengajiannya berteraskan kepada keinginan ayahnya agar kelak ia membina insitusi pendidikan yang lebih tinggi dari yang telah dibangun oleh ayahnya. Selain itu, Gontor memang tidak mengajarkan santri-santrinya kitab-kitab klasik seperti yang diajarkan di pondok-pondok tradisional. Gontor lebih menekankan kepada penguasaan bahasa asing baik Bahasa Arab ataupun Bahasa Inggris. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Banten, sudah merupakan perkara biasa jika seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren mampu menguasai kitab-kitab klasik baik dalam bidang fiqih, aqidah ataupun tata bahasa Arab. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab mengapa Rifa’i mendalami kitab-kitab klasik itu.
Setelah kembali dari pondok tempat ia belajar kitab klasik/salafi, Rifa’i tidak langsung mendirikian pondok pesantren seperti yang diinginkan ayahnya. Menurut penuturan keluarganya baik istri ataupun adik-adiknya, Rifa’i menyambung pelajaran pada “Akademi Bahasa Asing” (ABA) di Bandung. Namun, tidak jelas berapa lama beliau di Bandung juga bahasa asing apa yang ia pelajari.
Perihal Pendirian Pesantren
Perjalanan pendidikan Rifa’i Arief seperti yang telah diuraikan sebelumnya, seakan-akan menunjukkan persiapan beliau sebelum mendirikan sebuah pondok pesantren sebagaimana yang dinginkan ayahnya. Sepertinya, wujud ketidakpuasan dan ia masih berasa kurang ke atas ilmu yang telah ia dapatkan. Namun ia segera kembali ke kampungnya, mengingat keinginan ayahnya untuk segera mendirikan pondok pesantren. Menurut Ahmad Syahiduddin, maksud ayahnya agar para alumni “Madrasah Ibtidaiyah Masyariqul Anwar” dapat segera melanjutkan pendidikannya pada peringkat yang lebih tinggi yaitu di pondok pesantren yang akan didirikan anaknya itu.
Pada hari Jumat 19 Desember 1967, Qasad Mansyur bersama beberapa tokoh masyarakat kampung Gintung yang juga merupakan guru pada madrasah “Masyariqul Anwar” seperti Ahmad Syanwani, Sukarta, Johar, dan juga Rifa’i sendiri membincangkan rencana pendirian pondok pesantren. Mereka membahas sistem dan metode pembelajaran dan pengajarannya kelak setelah didirikan. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa Pondok Gontor sebagai contoh dan model lembaga pendidikan yang akan didirikan.
Dalam prakteknya, institusi pendidikan tersebut menggunakan sistem madrasi dengan nama “Madrasah al-Mua`llimîn al-Islamiyah (MMI)“, yang digabungkan dengan sistem pondok pesantren yang diberi nama Dâr al-Qalam. Namun dengan transliterasi kata yang mereka buat sendiri, nama pondok tersebut pun menjadi tertulis Daar el-Qolam.
Sebulan kemudian, atau tepatnya pada hari Sabtu 20 Januari 1968, bertepatan dengan tanggal 9 Syawwal 1338, dimulailah proses belajar mengajar. Pada peringkat awal murid-murid di MMI Daar el-Qolam berjumlah 22 orang. Mereka adalah adik-adik Rifa’i dan beberapa masyarakat sekitar kampung Gintung yang telah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Masyariqul Anwar (MMA). Adapun tempat belajar mereka ialah bekas dapur neneknya, Hj. Pengki, yang telah direnovasi.
Ketokohannya sebagai pemimpin pondok pesantren mulai tampak ketika itu, ditambah kemampuannya dalam bahasa Arab yang fasih baik lisan ataupun tulisan. Hal inilah yang memudahkan beliau diterima di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Serang, Banten padahal secara formal Gontor tidak mengeluarkan ijazah yang dapat memungkinkan santri-santrinya melanjutkan pelajaran pada peringkat yang lebih tinggi seperti di IAIN. Perkara tersebut juga dialami oleh adik-adiknya yaitu Huwaenah dan Syahiduddin. Keduanya adalah alumni pertama pondok pesantren Daar el-Qolam pada tahun 1975. Setelah itu, mereka melanjutkan pengajiannya di IAIN Jakarta hanya dengan ijazah yang ditulis oleh Rifa’i sendiri. Kedua adiknya itu diterima karena mereka mempunyai kemampuan berbahasa Arab dan sudah mempelajari berbagai ilmu dasar keislaman seperti yang tertulis di balik ijazah mereka.
Bagi lulusan pondok pesantren yang beraliran modern seperti Rifa’i, materi kursus pada IAIN bukanlah hal yang sukar. Bahkan pelajaran di pondok pesantren lebih sukar daripada pelajaran di IAIN. Sebagi contoh pelajaran Ushul al-Fiqh di IAIN pada peringkat sarjana muda, menggunakan buku terjemahan bahasa Indonesia. Sedangkan di pondok pesantren baik pondok Gontor ataupun pondok Rifa’i, menggunakan kitab aslinya. Di samping itu, kemampuan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris serta pengetahuan agama Islam yang diperoleh di pondok pesantren sangat membantu pendidikannya.